Macam macam hadiah dan Hukumnya (2)

Posted by

8. Hadiah Hakim

Kehakiman merupakan penyebar keadilan di antara manusia. Maka tidak sepantasnya ada faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan seorang hakim lalu menjadikannya berhukum dengan selain apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan. Dan dengan mempelajari pendapat-pendapat para ulama tentang hadiah untuk seorang hakim, menjadi jelaslah di sana ada dua pendapat yang paling mendasar:

1. Terlarang secara mutlak dalam bentuk pengharaman menurut sebagian ulama.

2. Hukumnya dirinci sebagai berikut:

Pertama: Hadiah yang diberikan kepada hakim tersebut datangnya dari orang yang terkait dengan suatu pertikaian atau permasalahan, maka hadiah seperti ini diharamkan, sama saja apakah di antara keduanya telah saling memberi hadiah sebelumnya, ataukah di antara keduanya ada hubungan kekerabatan, persahabatan atau selain dari itu.

Kedua: Hadiah yang diberikan kepada hakim tersebut datangnya dari pihak yang tidak terkait sama sekali dengan suatu pertikaian baik yang sedang diproses ataukah yang sedang menuju proses hukum. Jika di antaranya telah saling memberi hadiah dan datangnya hadiah diperuntukkan untuk membalas budi atas hadiah yang telah diterima, maka diperbolehkan juga dan masuk ke dalam kategori ini: hadiah-hadiah yang berasal dari kedua orang tua, istri, anak-anak, sanak kerabat, dan para sahabat, apabila tidak ada permusuhan, permasalahan, atau maslahat yang terkait dengan orang yang memberikan hadiah tersebut dari kalangan mereka.

CATATAN PENTING:

Di dalam makna hadiah tersebut ada dakwaan yang khusus atau yang umum dari salah satu pihak yang bertikai atau dari orang yang memiliki kepentingan yang ingin dia peroleh dari sang hakim.

Al Imam Asy Syaukani rahimahullah berkata, “Hendaknya seorang hakim yang benar-benar menjaga agamanya yang menyiapkan diri menghadap Rabb-nya untuk berhati-hati dari menerima hadiah orang yang memberi hadiah kepadanya setelah ia menduduki jabatan kehakiman. Maka sesungguhnya perbuatan baik itu memengaruhi tabiat seorang insan. Terkadang jiwanya condong kepada orang yang memberikan hadiah tersebut, dengan kecondongan yang bisa memalingkannya dari kebenaran ketika dihadapkan dengan pertikaian yang terjadi di antara orang yang memberi hadiah dengan orang lain dalam keadaan sang hakim tidak menyadarinya.” (Nailul Authar, 9/173)

MASALAH:

Apabila seorang hakim mengambil hadiah yang haram, maka dikemanakan hadiah tersebut?

Sebagian ulama berpendapat bahwa hadiah tersebut diletakkan di baitul maal. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa si hakim mengembalikan hadiah tersebut kepada si pemberi hadiah jika dia mengetahuinya. Apabila pengembalian hadiah tersebut menimbulkan gangguan atau bahaya yang lebih besar, maka dikembalikan ke baitul maal.

9. Hadiah bagi Wali atau Amir (Pengurus) dan Aparat Kehakiman

Yang dimaksud dengan wali atau amir adalah seorang yang diserahi tugas oleh hakim untuk memimpin negeri yang menjadi daerah kekuasaannya untuk segenap penduduknya. Orang-orang yang masuk kategori mereka seperti: para menteri, walikota, dan yang selain mereka.

Sungguh Islam telah mengharamkan jenis hadiah seperti ini dan menamakannya dengan “ghulul (pengkhianatan)” dikarenakan hadiah itu diberikan karena ia memiliki daerah kekuasaan. Ini adalah suap-menyuap, sedangkan suap-menyuap itu merupakan pengkhianatan. Setiap orang yang berkhianat dalam suatu perkara maka sungguh dia telah berbuat ghulul. Allah Subhanahu wa Ta’ala,

“Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu.” (Ali Imran: 161)

Hanya saja hadiah tersebut dikatakan khianat dikarenakan pada hakekatnya hadiah itu diperuntukkan untuk jamaah kaum muslimin. Maka tidaklah hadiah tersebut dikhususkan dengan tanpa selain mereka.

Mereka ini adalah para aparatur dan pegawai pemerintahan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Hadiah para pegawai itu merupakan ghulul (pengkhianatan).” (HR. Ahmad, Al Baihaqi, dan terdapat dalam Shahihul Jami’, 6898)

Dan yang namanya amil adalah setiap pegawai yang ditugasi untuk melaksanakan perkara yang penting atau mengerjakan pelayanan umum.

Di dalam Ash Shahihain, dari Abu Humaid, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengangkat seorang pegawai untuk memungut shadaqahnya Bani Sulaim. Si pegawai ini bernama Ibnu Lutbiyah. Tatkala dia datang, ia menghitung harta tersebut sembari berkata, “Ini harta kalian dan ini hadiah untukku.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Mengapa kamu tidak duduk saja di rumah bapak dan ibumu sampai hadiah itu datang kepadamu jika kamu orang yang jujur?!” Lalu beliau bersabda, “Demi Allah, tidaklah salah seorang dari kalian mengambil suatu yang bukan menjadi haknya melainkan ia berjumpa dengan Allah pada hari kiamat nanti dalam keadaan membawanya.” (Fathul Bari, 12/348)

Dari masalah-masalah yang telah lewat, menjadi jelas bagi kita bahwa pendapat yang benar adalah haramnya seorang wali dan orang-orang yang sekedudukan dengannya untuk menerima hadiah, terlebih lagi bila dikhawatirkan disertai adanya kecondongan jiwa dan tuduhan jelek yang menyertai pemberian hadiah karena sebuah kekuasaan, bukan karena sebab yang khusus, seperti keluarga, teman pergaulan yang merupakan kebiasaan mereka adalah memberi hadiah kepadanya sebelum ia menduduki jabatan tersebut.

Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Dan apa-apa yang dihadiahkan kerabat dan handai taulan kepadanya di mana sebelumnya telah ada kebiasaan saling memberi hadiah sebelum dia menduduki kekuasaan itu, maka meninggalkan hal ini lebih disukai, namun tidak mengapa dia menerima dan menyimpannya.” (Disebutkan oleh Ibnu Hajar Al Haitami (w. 974 H) dalam kitab beliau Idhahul Ahkam li ma Ya’khudzul ‘Ummal wal Hukkam halaman 49)

Imam Ahmad berkata, “Barangsiapa yang mengurusi sesuatu dari urusannya penguasa, aku tidak perbolehkan baginya menerima sedikit pun, secara khusus, bila dia adalah seorang hakim, maka aku tidak suka dia melakukan hal yang demikian itu kecuali seorang yang memiliki hubungan persahabatan dengannya atau hubungan yang dia jalin sebelum dia menjadi wali.”

MASALAH:

Apabila seorang wali (pejabat pemerintah) dan yang segolongan dengannya mengambil hadiah dengan sebab jabatannya, maka ia berikan hadiah tersebut ke baitul mal di mana hadiah itu bisa diambil manfaatnya untuk kemaslahatan umum.

10. Hadiah Mufti (Pemberi Fatwa

Seorang mufti digolongkan sebagai pegawai umum, secara khusus pada masa sekarang ini. Apabila hadiah yang diberikan kepada mufti tersebut dikarenakan melihat ilmu, keshalihan, dan takwanya dengan tujuan mencintainya karena Allah, maka hukum hadiah tersebut diperbolehkan apabila niatnya jujur. Dan orang yang memberi hadiah itu termasuk dari teman, sahabat, keluarga, atau dari orang-orang yang biasa memberikan hadiah sebelum ia menduduki jabatan tersebut.

Adapun apabila hadiah tersebut mempengaruhi fatwa, maka tidak diragukan lagi bahwasanya diharamkan bagi kedua belah pihak dikarenakan padanya ada persyaratan untuk memperoleh bantuan dan hadiah yang dipersyaratkan dengan bentuk untuk memperoleh bantuan hukumnya tidak boleh. Hadiah ini juga dihukumi sebagai suap-menyuap apabila fatwa tersebut sesuai dengan yang diinginkan oleh sang pemberi hadiah atau mufti tersebut mendapatkan manfaat berupa harta, kedudukan, di sisi sang pemberi hadiah, atau sang pemberi hadiah memiliki konflik di sisi mufti.

11. Hadiah Seorang Guru

Urusan seorang guru dalam hal tidak bolehnya menerima hadiah sebagai imbalan terhadap pelaksanaan tugasnya sama halnya dengan perkara semua pegawai. Apabila hadiah tersebut termasuk bagian dari bab kecintaan, kasih sayang, dan untuk mendekatkan diri kepadanya dikarenakan ilmu dan keshalihannya, maka boleh menerimanya. Dan demikian pula bolehnya menerima hadiah itu dari orang-orang yang kebiasaan mereka adalah saling memberi hadiah seperti kerabat, handai taulan, dan teman karib.

Apabila hadiah itu datang dari murid-murid sekolah tempat dia mengajar, atau datang dari wali murid, maka tidak diperbolehkan karena hadiah tersebut akan menyebabkan sikap pilih kasih kepada siswa yang bersangkutan, membantunya di dalam ujian, atau menambahkan nilainya. Inilah namanya suap-menyuap itu sendiri.

12. Hadiah bagi Muazzhaful ‘Am (Pegawai Umum)

Al Muazzhaf (pegawai) adalah setiap orang yang dibebani dengan suatu tugas penting atau pelayanan umum dan semisalnya yang sifatnya berkelanjutan atau dalam jangka waktu tertentu baik di dalam bidang kenegaraan atau kemaslahatan yang menyertainya, komite-komite umum, perusahaan-perusahaan, dan yayasan-yayasan yang bersifat umum dan khusus. Lafazh Muazzhaful ‘Am berdasarkan istilah fiqh diistilahkan dengan ‘amil’. Adapun amil adalah setiap orang yang mengurusi suatu perkara dari perkara-perkara kaum muslimin, dan amil mencakup orang-orang yang memiliki jabatan-jabatan umum yang diserahi kepada masing-masing mereka untuk melaksanakan amalan apa saja yang di antara tugas-tugasnya mampu mendatangkan kemanfaatan atau kemudharatan pada orang lain.

Sungguh Islam telah mengharamkan hadiah-hadiah bagi para pegawai dan orang-orang yang masuk kategori mereka, dan Islam menamakan hadiah tersebut dengan suap-menyuap, dan terkadang Islam menamakannya dengan ghulul. Telah lewat bersama kita hadits Ibnu Lutbiyah di dalam Ash Shahihai bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkatnya sebagai pegawai untuk memungut harta shadaqah, lalu dia berkata, “Ini harta kalian dan ini hadiah untukku.”

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Mengapa kamu tidak duduk saja di rumah bapak dan ibumu sampai hadiah itu datang kepadamu….”

Lalu beliau bersabda,

“Demi Allah, tidaklah salah seorang dari kalian mengambil suatu yan bukan menjadi haknya melainkan ia berjumpa dengan Allah pada hari kiamat nati dalam keadaan membawanya….” (HR. Al Bukhari, 6979)

Dan dari Abu Humaid As Saidi, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Hadiah para pegawai itu merupakan ghulul (pengkhianatan).” (HR. Ahmad, Al Baihaqi, dan terdapat dalam Shahihul Jami’ [6898], dan Ibnu Majah)

Dan Allah Azza wa Jalla berfirman,

“Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu.” (Ali Imran: 161)

KESIMPULANNYA:

Bahwa setiap hadiah yang terkait dengan suatu tugas tertentu dimana seandainya sang pegawai tersebut dicopot jabatannya niscaya dia tidak akan diberikan hadiah tersebut, maka hadiah ini merupakan suap-menyuap yang tidak diperbolehkan walaupun hanya sekedar undangan makan atau basa-basi padanya. Adapun jika hadiah itu diberikan kepada sang pegawai yang datangnya dari orang-orang yang telah biasa saling memberi hadiah di antara mereka, seperti kerabat, handai taulan, teman karib, dan diinginkan dengan hadiah tersebut untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, menguatkan kecintaan dan kasih sayang, maka diperbolehkan.

13. Hadiah Orang-orang Musyrik (non muslim))

Pada asalnya, diperbolehkan menerima hadiah dari orang-orang musyrik dan memberikan hadiah kepada mereka, apabila bukan merupakan suap menyuap di dalam perkara agama, untuk melegalkan sebuah kebatilan, atau merupakan sebab untuk mengokohkan orang musyrik ini dalam melawan kaum muslimin sehingga ia dapat mengganggu mereka. Maka ketika itu hadiah tersebut tidak diperbolehkan. Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menerima hadiah dari kaum musyrikin. Di dalam Ash Shahihain dari Abu Humaid, beliau berkata,

“Kami berperang bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada perang Tabuk dan seorang raja dari suku Arab menghadiahkan beliau seekor bighal (peranakan kuda dengan keledai) betina yang berwarna putih. Dia juga memberikan kain burdah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. Al Bukhari [3161] dan Muslim [1392])

Dan demikian pula di dalam Ash Shahihain, bahwa ada seorang perempuan Yahudi mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan membawa daging kambing yang telah dilumuri racun, lalu beliau pun makan daging itu. (HR. Al Bukhari [2617] dan Muslim [2195])

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga menerima hadiah dari Al Mauqauqis berupa seorang budak wanita bernama Mariyah radhiyallahu ‘anha, ibu dari Ibrahim (putra Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam). Oleh karena itulah Imam Al Bukhari membuat bab di dalam Shahihnya dengan judul, “Bab Menerima Hadiah dari Kaum Musyrikin”. (Fathul Bari [5/231], hadits nomor 2618)

Pembolehan ini terkait dengan hadiah orang-orang musyrik yang masih melakukan perdamaian yang tidak memerangi Islam dan kaum muslimin. Apabila hadiah tersebut dalam rangka persahabatan dan tidak diiringi dengan tuntutan atau untuk melunakkan hati mereka agar mau masuk Islam. Adapun seorang musyrik yang memerangi agama Allah, maka tidak boleh menerima dan memberikan hadiah kepadanya. Dikarenakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Sesungguhnya aku tidaklah menerima hadiah seorang musyrik.” (HR. Ath Thabrani, dan terdapat di dalam Shahihul Jami’ [2514])

Beliau juga bersabda,

“Sesungguhnya aku dilarang dari menerima pemberian kaum musyrikin.” (HR. Abu Dawud, At Tirmidzi, dan terdapat di dalam Shahihul Jami’ [2505])

Beliau juga bersabda,

“Kami tidak akan menerima sedikitpun dari kaum musyrikin.” (HR. Ahmad, Al Hakim, dan terdapat di dalam Shahihul Jami’ [2294])

Dan di dalam permasalahan ini ada enam pendapat, dan pendapat yang saya kemukakan inilah yang paling kuat. Wallahu a’lam. Silakan merujuk Fathul Bari [5/231], Nailul Authar [6/108] dan Al Mughni [8/9495]).

Demikian juga tidak diperbolehkan menerima hadiah kaum musyrikin dengan sebab perayaan-perayaan mereka menurut jumhur ulama, dikarenakan hal ini merupakan pengagungan terhadap hari raya mereka dan membantu mereka di atas kekufuran, demikian juga tidak diperbolehkan menerima hadiah-hadiah mereka dengan sebab perayaan-perayaan mereka, dikarenakan hal itu merupakan persetujuan terhadap perayaan tersebut dan adanya tolong-menolong di atas kekufuran.

Sumber: Menebar Cinta dengan Hadiah karya Ibrahim bin Abdillah Al Mazru’i (penerjemah: Ibnu Musa Al Bankawy)

loading...

Artikel Lain Yang Mungkin Anda Suka


FOLLOW and JOIN to Get Update!

Social Media Widget SM Widgets




Artikel Bermanfaat Semoga Updated at: 15:25
Powered by Blogger.