Bagaimanakah orang mukmin memandang dunia?
Orang mukmin adalah sebaik-baik makhluk dalam memanfaatkan dunia. Baginya, dunia bukanlah tempat untuk mencari kepuasan lahiriah semata, karena ada hal yang lebih penting dari sekadar kesenangan duniawi. Menurutnya, kebahagiaan tidak terletak pada materi, namun lebih pada ketentraman hati. Yaitu hati yang disirami oleh cahaya keimanan, hati yang tersentuh oleh panggilan ilahi. Itulah sumber kebahagiaan. Oleh karena itu, ia tidak memandang dunia sebagai tujuan utama hidupnya.
Dunia adalah tempat baginya untuk menyusun dan merencanakan hari esoknya yang lebih cerah. Ketika manusia tertunduk lesu menyesali apa yang telah mereka lakukan dengan muka pucat kebingungan mencari-cari suaka dan pertolongan, ia dengan ‘gagah’ menegakkan wajahnya karena mendapatkan apa yang dulu dijanjikan.
Ketika manusia satu persatu dihinakan di hadapan seluruh makhluk sebagai akibat atas apa yang telah diperbuat, ia dengan tenangnya menghadapi semua itu tanpa rintangan. Ya, itulah hari perhitungan atau dalam istilah syar’i “Yaumul Hisab“. Hari ditimbangnya amalan manusia. Dan hal itu semua tidak akan terjadi, kecuali karena ia menjadikan dunia bukan sebagai tujuan utamanya. Berikut ini pandangan orang mukmin terhadap dunia:
Penjara dunia
Di matanya, dunia tak lebih dari sebuah penjara karena ia tidak bisa bebas sepuas-puasnya. Ia tidak bisa mengumbar nafsu semaunya. Ada aturan yang membatasinya. Jika ia melewati batas itu, ia akan terjungkal sedalam-dalamnya ke lembah kenistaan yang berujung penyesalan. Namun, sebaliknya, bagi orang kafir dunia ini adalah kesenangannya. Dunia ini adalah ‘surga’nya. Ia bebas melakukan apa saja semaunya; tak ada yang melarang. Begitulah RasulullahShallallahu ‘Alaihi Wasallammengabarkan, dalam sabdanya;
الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ وَجَنَّةُ الْكَافِرِ
“Dunia itu penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir” (HR. Muslim).
Selain itu pun, orang mukmin masih dituntut menjalankan ketaatan-ketaatan yang memberatkan, yang tidak boleh disia-siakan. Sebagaimana ia juga terlarang melakukan perkara-perkara yang diharamkan. Berikut Rasulullah menegaskan.
إنّ اللَّهَ حدَّ حُدُوداً فلا تَعْتَدُوْهَا وفَرَضَ فَرَائِضَ فلا تُضَيِّعُوْهَا وحَرَّمَ أشْيَاءَ فَلاَ تَنْتَهِكُوْهَا وتَرَكَ أشْيَاءَ مِنْ غَيْرِ نِسْيَانٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَلكِنْ رَحْمَةً مِنْهُ لَكُمْ فَاقْبِلُوْهَا وَلتَبْحَثُوْافِيْهَا
“Sesungguhnya Allah telah menentukan batasan-batasan, janganlah kalian melampauinya. Juga menetapkan perkara-perkara wajib, janganlah kalian menyia-nyiakannya. Selain itu, juga mengharamkan beberapa hal, jangan pula kalian melanggarnya. Dan mendiamkan beberapa macam perkara, bukan karena lupa, tapi sebagai bentuk kasih sayang kepada kalian, maka terimalah dan janganlah kalian mencari-carinya” (HR. Hakim).
Dunia ibarat lautan dalam
Siapa pun tahu seperti apa laut. Hamparan air yang membentang nan luas, dari ujung pantai ke pantai lainnya, tempat di mana sungai-sungai ‘memuntahkan’ airnya. Pada galibnya, garis-garis pantai adalah titik dangkal di mana manusia bisa menikmati air laut, dengan cara menceburkan diri. Atau tempat di mana perahu-perahu nelayan berlabuh. Sesuatu yang sudah maklum, jika dasar laut itu semakin ke tengah semakin dalam. Sehingga para perenang itu, jika semakin ke tengah berenang, semakin tinggi pula risiko tenggelamnya. Dan jika sudah tenggelam, semakin susah pula selamatnya.
Begitu juga dunia. Ketika masih di pinggiran, ia belum kelihatan menarik di mata. Semakin ke dalam manusia mencari, semakin tampak pula keindahannya. Hingga apabila sudah sampai titik puncaknya, manusia pun dibuat terlena olehnya. Kini, ia bukan hanya menarik di mata, tetapi juga memikat jiwa. Oleh karena itu, orang mukmin akan ekstra hati-hati ketika menceburkan diri ke dunia, jangan sampai terseret ombak yang akan menjerumuskannya. Sebab jika sudah terjerumus, sangat susah untuk melepaskan diri darinya.
Petiklah nasihat Hasan al-Bashri (wafat 728) berikut, seperti yang diungkap Ibnu Abi Dunya dalam kitabnya Dzamm ad-Dunyâ di halaman 21, “Berhati-hatilah kalian dari menyibukkan diri dengan perkara dunia, karena ia dipenuhi kesibukan. Sesiapa yang berani membuka salah satu pintu kesibukan itu, niscaya akan terbuka untuknya sepuluh pintu kesibukan lainnya, tidak seberapa lama kemudian.”
Oleh sebab itu, kendaraan orang mukmin ketika mengarungi samudera dunia adalah perahu takwa, berdayung iman dan berlayar tawakal. Itulah kunci keselamatan. Sungguh, betapa sedikit yang selamat!
BAGAIMANA CARA KITA MEMANDANG DUNIA
Posted by Admin
loading...
|
Social Media Widget SM Widgets
Artikel Bermanfaat Semoga Updated at: 16:26