Macam macam Hadiah dan Hukumnya (1)

Posted by

Ada bermacam-macam jenis hadiah, di antaranya ada yang disyariatkan, ada yang disunnahkan, serta ada yang diharamkan. Para ulama telah menyebutkan ketentuan-ketentuan yang syar’i untuk sebagian jenis hadiah tersebut, dan kami akan menyebutkannya dengan ringkas pada pembahasan berikut ini:

1. Hadiah Orang yang Lebih Tinggi dan yang Sederajat

Yang dimaksud dengan hadiah tersebut adalah hadiah yang diberikan oleh pihak yang lebih tinggi kepada pihak yang lebih rendah dalam hal kedudukan, jabatan, dan hartanya, dari orang dewasa kepada anak kecil, dari seorang pengajar kepada muridnya, atau dari seorang syaikh kepada penuntut ilmu. Dan di dalamnya ada wujud pemuliaan, kecintaan, dan silaturrahmi. Dan dimaksudkan dengannya untuk menyatukan hati, mempererat persahabatan, dan kecintaan, menyemangati anak kecil, murid, penuntut ilmu, dan selain mereka. Terkadang jenis hadiah ini dibarengi dengan momen-momen keagamaan seperti dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha), pernikahan, kelahiran, khitanan, kelulusan, kenaikan kelas, bepergian dan kembali dari perjalanan. Hadiah pada semua keadaan ini disunnahkan secara syar’i apabila dilakukan untuk mengharapkan wajah Allah Ta’ala, dan apabila tidak ada di dalamnya larangan syar’i seperti: menyerupai orang-orang musyrik pada jenis hadiahnya.

2. Hadiah Kedua Orang Tua kepada Anaknya

Ia termasuk dari hadiah-hadiah yang bisa menanamkan rasa cinta pada jiwa anak-anak, akan tetapi hadiah tersebut harus diberikan secara adil di antara mereka kecuali apabila di sana ada faktor atau perkara yang mengharurkan pengutamaan atau pengkhususan maka ini tidaklah mengapa. Seperti salah seorang dari mereka sakit atau buta, atau ia memiliki keluarga, seorang penuntut ilmu, ingin menikah, anak yang paling besar berserikat dalam usaha dan pendidikan saudara-saudaranya. Juga apabila ingin membayar hutang kepada salah satu dari anak-anaknya, atau yang semisal itu dari faktor-faktor dan sebab-sebab yang ada. Adapun apabila tidak didapati faktor-faktor pengutamaan maka yang wajib adalah berbuat adil dan sama rata di dalam pemberian kepada mereka. Ini adalah pendapat kebanyakan ulama dan mazhab Imam Ahmad, Al Bukhari, Ishaq, Ats Tsauri, Daud, Ibnu Taimiyah dan selain mereka.

Mereka berdalil dengan hadits Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu bahwa bapaknya membawanya pergi menuju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu dia berkata, “Sesungguhnya aku telah memberikan kepada anakku ini seorang budak.” Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apakah semua anakmu kamu berikan juga yang semisalnya?” Dia menjawab, “Tidak.” “Maka mintakan kembali pemberian tersebut.” (kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam -pent.) (HR. Al Bukhari, 2586)

Dalam suatu riwayat, beliau bersabda, “Jangan kamu jadikan aku sebagai saksi atas suatu kezhaliman.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Silakan rujuk perbedaan pendapat dalam masalah ini di dalam Fathul Bari (5/215). Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Hadits dan atsar-atsar menunjukkan wajibnya berbuat adil… Kemudian di sini ada dua macam:

Yang pertama, macam di mana mereka (anak-anak) butuh kepada pemberian tersebut yang berupa nafkah dalam hal kesehatan dan yang semisal itu. Maka bersikap adil di dalamnya adalah memberikan kepada masing-masing anak apa yang dia butuhkan di dalamnya…. (Disebutkan oleh beliau dalam Al Ikhtiyaraat Al Fiqhiyah)

Dan tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan tentang penyamaan pemberian di antara anak dikarenakan hadits,

“Berlaku sama rata-lah kepada anak-anak kalian dalam hal pemberian.” (Dihasankan oleh Ibnu Hajar, 5/114)

Dan tidak dibedakan antara bapak dan ibu tentang bolehnya meminta kembali hadiah yang telah diberikan kepada anak dikarenakan hadits Nu’man bin Basyir yang telah lalu dan hadits,

“Tidak boleh seorangpun meminta kembali hibahnya kecuali orang tua kepada anaknya….” (HR. Muslim, An Nasa’i, Al Baihaqi, Shahihul Jami’ Ash Shaghir, 7686)

3. Hadiah Lamaran

Ini merupakan hadiah yang diberikan oleh salah satu mempelai kepada pasangannya setelah akad untuk hidup bersama dan sebelum hubungan suami istri (sebelum dilakukannya jima’ -pent).

Hadiah-hadiah ini terkadang bisa berbentuk perkara-perkara yang mudah habis dari benda yang dimakan, dipakai, atau dipergunakan. Dan jenis hadiah seperti ini tidak dikembalikan, tidak diminta nilainya, atau diganti ketika terjadi perceraian di antara keduanya.

Adapun apabila hadiah tersebut berupa hadiah lamaran atau sebagian benda-benda yang berharga, bukan yang cepat habis, maka ia dikembalikan bersama mahar secara utuh kepada suami ketika sang istri atau walinya tidak mau menyempurnakan hubungan pernikahan tersebut. Dan suami tidak mempunyai hak meminta kembali hadiah dan hibah yang telah diperuntukkan kepada si istri apabila ketidaksempurnaan pernikahan tersebut kembalinya kepada sang suami dan dia adalah penyebab di dalamnya.

Di dalam mazhab-mazhab fiqh ada rincian yang luas. Dan pada semua keadaan tersebut haruslah memperhatikan kebiasaan yang ada di antara mereka dan kaidah “Sesuatu yang dianggap baik secara ‘urf (kebiasaan) sama hukumnya dengan sesuatu yang dipersyaratkan di dalam syarat.”

4. Hadiah untuk Menyelesaikan Hajat yang Mubah (Hadiah untuk Mendapatkan Syafa’at)

Syafa’at di sini maknanya adalah perantaraan atau campur tangan dengan menggunakan kedudukan untuk mencari wajah Allah Ta’ala. Dan ia diperbolehkan pada selain hukum-hukum had (hukum-hukum yang kadarnya telah ditetapkan oleh syariat seperti potong tangan, qishash, rajam -pent.) yang telah sampai kepada hakim. Dan tidak diragukan lagi kebolehannya karena sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam,

“Barangsiapa dari kalian yang mampu memberikan manfaat kepada saudaranya, hendaknya ia lakukan.” (HR. Muslim, Ibnu Majah, Al Baihaqi, dari Jabir. Shahihul Jami’, 6019)

Dan beliau juga bersabda,

“Berilah syafa’at niscaya kalian akan mendapatkan pahala.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Barangsiapa yang memberikan syafa’at yang baik, niscaya ia akan memperoleh bahagian (pahala) dari padanya. Dan barangsiapa memberi syafa’at yang buruk, niscaya ia akan memikul bahagian (dosa) dari padanya.” (An Nisa': 85)

“Nashiibun” yaitu bagian yang baik. “Kiflun” yaitu dosa.

Dan selayaknya bagi seseorang yang diberikan taufik oleh Allah Ta’ala untuk memutuskan kebutuhan-kebutuhan manusia agar tidak menerima pemuliaan sebagai balasan syafa’atnya. Dan tidak sepatutnya meminta bantuan dengan beragam hadiah untuk menyelesaikan kebutuhan-kebutuhan dan untuk memudahkan perkara-perkara yang penting, sehingga terhentinya perkara-perkara tersebut hanya tergantung pada semua itu, dan hilangnya harga diri, akhlak, di hadapan manusia dan jadilah hubungan muamalah di kalangan mereka dibangun di atas dasar materi belaka.

Apabila sang pemberi syafa’at memberi persyaratan, maka hal tersebut diperbolehkan, kalau tidak demikian, maka hal itu haram karena ini sebagai imbal balas dari kedudukannya. Dan apabila sang pemberi syafa’at tidak mensyaratkan untuk diberikan sesuatu kepadanya dan orang yang diberikan syafaat itu bisa mengambil manfaat dengan syafaat tersebut dan orang yang diberi syafaat tersebut ingin memberikan hadiah kepadanya, maka yang afdhal adalah dia tidak mengambilnya, tapi kalau ia mengambil hadiah tersebut, maka boleh baginya untuk mengambil hadiah tersebut.

Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Barangsiapa menolong orang lain untuk mendapatkan sebuah hak atau menolak kezhaliman darinya dan dia (pemberi syafa’at) tersebut tidak mempersyaratkan adanya imbalan dari orang yang akan ditolong, lalu orang yang ditolong tadi memberikan hadiah kepadanya sebagai balas budi, maka ini adalah perbuatan baik yang kami tidak memakruhkannya dikarenakan ia termasuk bentuk terima kasih kepada orang yang memberikan nikmat dan termasuk hadiah yang diberikan dengan sukarela. Dan kami tidak mengetahui adanya ayat Al Qur’an dan As Sunnah yang melarang demikian itu.” (Al Muhalla 9/158, masalah nomor 1637)

5. Hadiah untuk Mendapatkan Manfaat, Kedudukan dan Jabatan

Hadiah ini diberikan untuk mendekatkan hati dan mendapatkan kecintaan dari orang yang diberikan hadiah tersebut, bukan karena kecintaan yang hakiki akan tetapi untuk mendapatkan kemanfaatan dengan kedudukan, kekuasaan dan posisinya di sisi orang lain sehingga dengan itu dia bisa mencapai tujuan-tujuannya.

Hadiah ini mirip dengan suap-menyuap dan haram mengambilnya. Maka jika kedudukan tersebut berupa kekuasaan kehakiman, pekerjaan, hukum, kepemimpinan, atau jabatan, maka ini suap-menyauap yang diberi label “hadiah”. Mengambil hadiah tersebut diharamkan, sebagaimana diharamkan pula memberikannya.

Perbedaan antara jenis ini dan yang sebelumnya (poin keempat, pent), bahwa yang pertama tadi adalah hadiah yang diperuntukkan untuk mengerjakan amalan yang mubah, adapun jenis ini, maka lebih umum daripada yang sebelumnya, terkadang yang dimaksudkan dengannya adalah membantu kezhaliman, perkara yang haram, perkara yang dia tidak berhak untuk mendapatkannya, atau selain itu. Inilah yang dinamakan suap-menyuap yang diharamkan itu sendiri.

6. Hadiah untuk Mendapatkan Hak atau Menolak Kezhaliman

Yang demikian itu disebabkan adanya udzur atas seorang muslim untuk sampai kepada haknya atau menolak kejelekan yang akan menimpanya, lalu dia menyerahkan hadiah kepada orang yang memiliki kemampuan tersebut untuk merealisasikan tujuannya. Adapun haramnya hadiah pada keadaan ini tertuju bagi orang yang mengambilnya, maka ia merupakan perkara yang tidak diragukan lagi tentang keharamannya dan merupakan perkara yang disepakati keharamannya.

Adapun dilihat kepada orang yang memberi, maka ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama dan jumhur membolehkan hal tersebut. Dan yang rajih tidak diperbolehkan karena keumuman hadits,

“Allah melaknat orang yang menyuap dan orang yang menerima suap di dalam hukum.” (HR. Muslim, At Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Shahihul Jami’ 5093)

Atas dasar ini hadiah dengan model seperti ini diharamkan atas kedua belah pihak sebagaimana dikatakan oleh Al Imam Asy Syaukani dan yang selain beliau.

7. Hadiah untuk Melegalkan Kebatilan atau Membatalkan Kebenaran

Ia memberikan hadiah tersebut agar fakta yang ada diputarbalikkan dan perkara yang ada dimanipulasi. Hadiah ini diharamkan juga atas kedua belah pihak dan merupakan suap-menyuap itu sendiri yang diharamkan dengan kesepakatan para ulama, karena tujuannya adalah melegalkan perkara yang haram atau berbuat zhalim kepada seseorang, mengambil apa-apa yang bukan menjadi haknya, atau tindakan selain itu.


loading...

Artikel Lain Yang Mungkin Anda Suka


FOLLOW and JOIN to Get Update!

Social Media Widget SM Widgets




Artikel Bermanfaat Semoga Updated at: 15:16
Powered by Blogger.